Hari ini tanggal 21 April bangsa Indonesia akan merayakan Hari lahir R.A Kartini sebagai hari emansipasi wanita. Namun sebagai seorang lelaki saya ingin bertanya apa betul Kartini pejuang emansipasi?. Berdasarkan hasil tanya sana sini sama om google, saya melihat ada beberapa hal yang mengusik perhatian tentang penetapan Kartini sebagai pejuang kesetaraan gender atau istilah kerennya emansipasi.
Menurut pendapat saya yang bukan ahli sejarah selain Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Rohana Kudus, Safiatuddin Johan atau sekampung saya Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan lebih layak dianggap sebagai tokoh emansipasi dengan alasan :
- Cut Nyak Dien menerima lamaran Teuku Umar karena suaminya tersebut mengizinkan dia untuk turut serta mengangkat senjata melawan Belanda sementara Kartini melawan Belanda dengan surat-surat keluhan yang dikirim ke Belanda.
- Seorang Pahlawan atau pejuang senantiasa berkata tegas dalam sikap maupun tindakannya. Berikut beberapa kata yang pernah diucapkan kedua tokoh tersebut.
Kartini : Hatiku menangis melihat segala tata cara ala ningrat yang rumit itu...
Cut Nyak Dien : Kita perempuan seharusnya tidak menangis di hadapan mereka yang telah syahid (Disampaikan pada anaknya Cut Gambang ketika ayahnya, Teuku Umar tertembak mati)
Kartini : Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih. (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900)
Cut Nyak Dien : Untuk apa bersahabat dengan Ulanda Kaphe (Belanda Kafir) yang telah membakar masjid-masjid kita dan merendahkan martabat kita sebagai muslim!
"Dia berbeda karena gagasannya. Kartini satu-satunya pahlawan wanita yang membela emansipasi wanita," kata peneliti isu feminis, Ruth Indiah Rahayu, pada acara diskusi Perempuan Pencipta Narasi di Salihara, Jakarta, pada 9 April 2013. menurut Ruth Cut Nyak Dien hanya dianggap pahlawan kolonial bukan pahlawan emansipasi.
Namun kalau Kartini memperjuangkan kesetaraan pendidikan wanita melalui surat, maka Dewi Sartika telah melaksanakan konsep pendidikan dengan membuka sekolah yang diberi nama Sakola Kautamaan Istri ataupun Rohana Kudus jurnalis perempuan pertama yang menerbitkan surat Kabar sendiri buat mewujudkan ide-idenya.
Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar mengungkap, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon.
Guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Tulisan ini bukan untuk mengkritik Kartini sebagai Pahlawan, namun hanya sebagai referensi bahwa masih banyak wanita Indonesia yang lebih layak dianggap sebagai pejuang emansipasi. Sekaligus untuk mengingatkan agar jangan kebablasan memandang emansipasi, seperti KPU yang memaksakan harus ada 30% caleg perempuan dalam satu partai. Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda Sangat Berarti